Jumat, 07 Maret 2014

Diantara sakit dan bagaimana bisa menghidupi malam


Di tengah keriuhan binar malam ada sedikit muram yang tersimpan pada ujung kepala. Ketika semua adalah proses pembelajaran dari latar belakang berbeda, masih selalu menyisakan sedikit kejanggalan. Dan, badai keajaiban dunia akan terus selalu seperti ini.



Siapa pula yang tak butuh dengan sebuah tempat dimana bisa sedikit lupa dengan beberapa surat tagihan rumah kontrakan, cicilan motor yang menunggak, hingga teror moncong senapan. Tetek bengek hidup selalu muram, sementara bahagia hanya ada kala hujan dan kita sudah sampai di rumah tanpa basah kuyup. Itupun jika tanpa cekcok perebutan jatah ngasuh anak bayi dikeluarga barunya. Menikmati beberapa potong matabak coklat bersama tayangan tv yang membuat perut sembelit belakangan ini.



Siapa yang tak butuh ketenangan ketika semua penat isi kepala diisi oleh balutan masalah. Siapa pula yang mau membalut kepala dengan masalah bejibun. Maka jangan heran jika setiap akhir pekan raya dipadati pengunjung yang saling bersahutan klakson di jalan raya. Sampah berceveran disetiap penjuru tempat wisata. Lepas dari tetek bengek apapun. Kita (manusia) punya cara sendiri untuk bisa membunuh perlahan kejanggalan masalah.

Tak perlu untuk bisa menghindar dari hujatan apapun yg kita dapatkan serupa nilai akhir semester yg anjlok, tumpukan kerjaan yang tak kunjung terpangkas di meja kantor atau masalah pelik yang sepele serupa ditinggal nikah kekasih pujaan. Dan mungkin mengapa kita belajar matematika dengan berbagai akar kuadrat didalamnya yang tak lain hanya sama tujuannya untuk bisa memecahkan masalah. Dan masalah akan terus datang serupa nafas yang kita hirup hingga esok mati.


Beberapa bulan belakangan ini terkena gejala sakit yang tak kunjung sembuh. Setiap malam mengalami batuk yang terkadang darah pekat ikut didalamnya. Dada yang bukan rosada serasa terjepit mesin press deck skateboard. Belum lagi yang saya khawatirkan adalah, kesukaran untuk bisa mengumpulkan energi menulis saat melihat dengan detail apa yang dilihat dan pikirkan selama perjalanan pulang ke rumah. Khawatir dengan penyakit ini dibandingkan dengan batuk yang  dialami.

Percaya, bahwa segala penyakit akan segera sembuh tanpa bantuan beberapa miligram depressan hingga antibiotik apotek kobra. Setiap malam hanya bisa meredam isi kepala agar tetap menjaga pada titik nyaman dengan memutar beberapa lagu tanpa lirik yang diputar pada spiker ringkih. Mencoba merasakan setiap detak jantung yang tetap pada ketukan yang sama, mencoba bisa masuk lagi pada bayangan tanpa cahaya yang menuntun agar terlelap. Mencoba bisa melepas semua kekecewaan tentang apa yang saya alami satu tahun kebelakang. Mencoba untuk bisa mengumpulkan energi untuk tenang setiap hari. Hingga mungkin saya mencoba melepas semua apa yang saya miliki hari ini dan meninggalkan semua kamerad yang ada di garda depan, hingga kawan segendang sepenarian yang masih terus membopong saya diantara reruntuhan harapan.

"Jika suatu hari masih ada disini untuk bertahan hidup, jangan biarkan saya pergi lagi sendiri. Jika esok saya meninggalkan kalian dan menyerang dalam garis merah, maafkan saya kawan. Hutang hutang tulisan kalian belum sempat saya lunasi. Jika esok saya benar benar pergi, jangan biarkan rotasi seperangkat vinyl yang kalian putar berhenti. Hari ini yang saya harap adalah bisa sembuh dan bisa kembali memeluk kalian pada alinea tanpa jeda, merangkai beberapa prosa dengan memandang ladang yang dizarah pecundang, dan melawan bersama kalian dalam moncong senapan tanpa perlu berpelukan"

Bandung, maret 2014
Pada malam yang semakin sesak sebelum bisa kembali nafas.

1 komentar: